Pages

Senin, 12 Desember 2011

Belajar Dari Rasa Sakit

Febry, itulah nama panggilan dari salah satu guru Matematika kesayangannya saat di SMA. Sekitar lebih dari dua tahun Febry telah pergi merantau ke pulau seberang demi mencari apa yang telah ayahnya pernah sampaikan, salah satunya adalah pemikiran yang global. Selama periode itu, ia mencari pengalaman hidupnya sambil menuntu ilmu di sebuah perguruan tinggi yang berada di kota Bogor.

Perjalanan hidupnya tentu tidak selalu mulus. Ia sering kali menemukan hal-hal pahit selama periode dua tahun terakhir ini. Tetapi ia pernah berpendapat bahwa pengalaman-pengalaman pahit di tahan rantau ini akan berubah menjadi pengalaman manis nantinya. Layaknya kepompong yang dipandang tidak ada kesan indahnya tetapi setelah menjadi kupu-kupa menjadi cantik jelita.

Seperti mahasiswa-mahasiswa merantau lainya, untuk keseharian hidup, Febry masih mengandalkan kiriman orang tuanya setiap bulan. Tidak sedikit juga mahasiswa yang merantau mencari penghasilan sambilan untuk menambah unag jajan mereka. Tetapi disini ia tidak mengambil jalan untuk itu, dimana dia harus membagi waktu kuliahnya dan pekerjaannya. Lantas ada yang bertanya, “kenapa?“ Ia hanya menjalani nasehat uwanya yang berada di kampung halaman agar dia tidak usah memikirkan pekerjaan dulu dan harus memfokuskan diri pada perkuliahan. Karena uwanya berpendapat,”Rezki itu ngak akan kemana, fokus saja pada yang ada”. Febry pun mengikuti nasehat dari uwanya itu yang telah disampaikan sebelum dia pergi untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Semua ini ia lakukan karena dia mempunyai pengalaman pahit sebelumnya, dia pernah tidak menuruti nasehat kedua orang tuanya, tapi hasilnya hanyalah hampa. Oleh karena itu ia sekarang lebih patuh akan semua nasehat dari siapapun itu.

Perjalanan Febry dua tahun ini cukup lumayan berat. Untuk makan dia saja perlu pengelolaan keuangan yang sangat baik. Dalam rangka hal itu, dia pernah membuat laporan pengeluaran yang akan ia tela’ah setiap tiga bulan sekali. Ini demi melihat keadaan pengeluaran ia dan agar dapat membuat suatu kebijkaan dan strategi untuk menghadapi bulan selanjutnya. Ia sempat berhasil waktu itu, tetapi tidak lama kemudian ia gagal dalam pengelolaan keuangannya, salah satu bentuk kecilnya adalah ia berhenti untuk mencatat semua pengeluaran kedalam laporan pengeluaran yang dibuatnya. Akibatnya ia tidak bisa lagi mengontrol arus pengeluarannya. Dari yang Rp. 10.000/hari untuk biaya makanannya, terus menyusut menjadi RP. 7.000/hari, bahkan terakhir sampai mencapai Rp. 5.000 dan Rp. 3000/hari nya. Dimana semua keadaan berubah dari yang sudah sederhana menjadi melarat tak berdaya. Ini semua ia lakukan agar tidak sampai mengutang pada orang lain.

Keadaan lah yang mengajarkan Febry menjadi Febry yang sekarang ini. Terkadang ia meneteskan air mata ketika membandingkan masakan ibunya dengan makan satu telur dadar yang dia makan untuk dua kali makan dalam sehari, yaitu makan siang dan malam. Tak jarang juga pada makan malamnya, ia makan bersama semut yang memakan telur dadar yang ia buat siang harinya. Tetapi dia tak membuang semut itu dari telur dadar buatannya, karena disini dia telah sadar dan diajarkan oleh keadaan untuk saling berbagi, tidak hanya pada sesama manusia, tetapi kepada semua ciptaan Tuhan, salah satunya ialah kepada semut-semut itu tadi.

Febry disini sudah termasuk berhasil dalam bersosialisasi di tanah orang ini, walaupun kalau dilihat daril luar ia terkesan pendiam, cuek dan acuk, tapi dengan sikapnya yang menjadi diri sendiri itulah yang membuat dia bisa diterima pada lingkungan sekitarnya. Dia mampu menerepakan pribasahasa yang berbunyi “Dimana kaki berpijak, disana langit dijunjung.” Semua itu membuat orang juga bisa berbuat baik kepadanya. Tidak jarang ia selalu diberi makan malam oleh ibu kosnya secara gratis karena peranannya yang baik.

Silaturahmi juga membuat dia berpikir bahwa dia tidak sendiri. ketika dia berkunjung kerumah teman-temannya, ia disambut baik oleh kelauraga dari teman-temannya. Bahkan tak jarang diberi makan layaknya seorang yang distimewaksan. Kenapa? Salah satu teman ia pernah bercerita, kalau seorang ibunya juga dulu seroang perantau. Ibunya bisa merasakan apa yang sedang dirasakan Febry saat ini.

Waktu terus berjalan, dari segi sosialisasi Febry telah berhasil di masyarakat. Tinggal keberhasilan perkuliahan serta karirnya dimasa depan lah yang masih menjadi hajad dan misteri dalam hidupnya saat ini.

“Ini hanyalah sedikit mengenai pembelajaran yang aku dapat dari dua tahun terakhir ini. Masih banyak hal-hal lain yang belum sanggup terluapakan tentang arti dari kehidupan ini” Ujar Febry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar